Di sektor pertanian, petani sawit di Riau dan Sumatera Barat mengeluhkan harga jual sawit yang anjlok saat panen raya. Padahal, produk sawit tetap menjadi andalan ekspor Indonesia. Keuntungan besar justru mengalir ke pengusaha besar dan eksportir, sementara petani yang bekerja keras dari awal hanya mendapat penghasilan jauh di bawah standar hidup layak. Kondisi serupa juga dialami oleh buruh pabrik tekstil di Bandung atau Cimahi. Mereka menghasilkan produk yang diekspor dengan harga tinggi, namun menerima upah minimum yang bahkan tak mencukupi kebutuhan dasar. Data dari Lembaga Demografi FEB UI tahun 2022 mencatat bahwa produktivitas buruh Indonesia meningkat dalam sepuluh tahun terakhir, tetapi peningkatan itu tidak diikuti oleh kenaikan upah yang sebanding.
Dunia akademik pun tak lepas dari fenomena ini. Banyak mahasiswa S1, S2, hingga S3 yang terlibat aktif dalam riset namun tidak mendapatkan pengakuan layak. Mereka yang mengumpulkan data dan melakukan analisis kerap absen dari daftar penulis utama dalam publikasi ilmiah. Sebaliknya, nama dosen senior atau profesor yang tidak terlibat langsung justru dimasukkan demi reputasi. Kontribusi nyata kembali tertutupi oleh posisi dan kuasa.
Prof. Rhenald Kasali, pakar manajemen dan perubahan, pernah mengatakan bahwa salah satu persoalan budaya organisasi kita adalah kecenderungan untuk mengabaikan mereka yang bekerja dan mengangkat mereka yang pandai tampil. Menurutnya, kita terlalu sering menghargai apa yang terlihat, bukan apa yang berdampak. Akibatnya, banyak orang merasa tidak dihargai meski telah bekerja keras, dan akhirnya enggan memberikan yang terbaik.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.





