Di era digital, bentuk ketimpangan ini semakin kompleks. Kita sebagai pengguna media sosial memberikan konten, interaksi, dan bahkan data pribadi secara cuma-cuma. Namun, yang mendapatkan keuntungan besar adalah perusahaan-perusahaan raksasa seperti Meta atau TikTok. Laporan We Are Social tahun 2024 menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia menghabiskan rata-rata delapan jam per hari di internet, dan tiga jam di antaranya untuk media sosial. Seluruh aktivitas ini menghasilkan nilai ekonomi besar, tetapi sebagian besar keuntungan tetap berada di tangan pemilik platform.
Semua ini memperlihatkan bahwa peribahasa bak mamaga karambia condong bukan sekadar gambaran nasib pribadi. Ia mencerminkan ketimpangan dalam sistem sosial dan ekonomi yang lebih besar. Kita hidup di tengah masyarakat yang kerap memuliakan hasil, tanpa peduli siapa yang bekerja keras di baliknya. Mereka yang punya kuasa lebih mudah mengambil nama, hasil, dan keuntungan dari orang lain yang tidak memiliki akses untuk berbicara.
Namun, kita tidak boleh berhenti di titik ini. Bukan berarti kita menyerah dan berhenti berkarya. Yang perlu diubah adalah cara sistem menghargai kerja keras. Di tempat kerja, sudah saatnya kita membangun budaya apresiasi yang sehat. Siapa pun yang terlibat, sekecil apa pun perannya, layak mendapat pengakuan. Di dunia akademik, etika dalam menyebut kontribusi perlu ditegakkan. Di bidang ekonomi, keberpihakan kepada petani, buruh, dan pelaku usaha kecil bukan sekadar pilihan moral, tetapi keharusan agar keadilan benar-benar hadir.
Peribahasa lama ini bukan sekadar cermin tradisi. Ia adalah pengingat yang relevan hari ini. Jangan sampai kita terus hidup dalam kenyataan di mana peluh yang jatuh dari dahi kita menjadi senyum kemenangan bagi orang lain. (*Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang)
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.





