Anggota DPD RI asal Papua Barat, Sanusi Rahaningmas, berkomentar bahwa penetapan WTP oleh BPK untuk Provinsi Papua Barat tidak berbanding lurus dengan tingkat perekenomiannya yang masih menempati posisi provinsi termiskin kedua setelah Provinsi Papua.
“Indikator apa yang digunakan oleh BPK dalam Penetapan WTP untuk Provinsi Papua Barat selama dua tahun terakhir ini? Menurut saya, hal tersebut kurang tepat, karena Papua Barat masih menjadi provinsi termiskin kedua di Indonesia, sementara APBD terkecil dari 13 kabupaten/kota sejumlah Rp1,2 triliun per tahun dengan total keseluruhan APBD sejumlah 17 T Lebih,” ungkap Sanusi.
Pada kesempatan tersebut, calon Anggota BPK, Slamet Edy Purnomo, memberikan penjelasan terkait WTP. Menurutnya, WTP merupakan prinsip akuntasi keuangan yang berbeda dengan prinsip hukum yang harus benar.
“Untuk memperkecil ruang tindakan saat pemeriksaan keuangan dapat dilihat fungsi organ didalamnya, mulai dari fungsi pengendalian, kode etik dan tata pemerintahan yang baik dan bersih (Good Governance and Clean Government),” ujar Edy.
Menurutnya, penguatan leadership penting, baik di daerah maupun di pusat. Jika ada pelanggaran sistem intern dan tata kelola, maka perlu dikorelasikan dengan WTP, yang pada dasarnya merupakan suatu konsep pemerintahan yang membangun serta menerapkan prinsip profesionalitas, demokrasi, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, efektivitas, pelayanan prima, serta bisa diterima oleh seluruh masyarakat.
“Perlu membangun sinergitas antara DPD RI dan BPK RI, mulai dari perencanaan, tindak lanjut, dan pengembalian kerugian negara. Pasal 9 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK, BPK RI boleh meminta dokumen apapun ke pihak manapun untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif,” lanjut Edy.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.