Sejak awal Islam, keterbukaan telah menjadi bagian dari tata kelola kehidupan umat. Rasulullah memberi keteladanan dalam menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan kepentingan publik. Dalam pengelolaan zakat, harta rampasan perang (ghanimah), maupun urusan strategis umat, Nabi senantiasa bersikap transparan.
Diriwayatkan bahwa para sahabat Nabi merasa berhak mengetahui bagaimana dana umat digunakan. Bahkan, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, seorang sahabat pernah mempertanyakan jubah yang dikenakan Umar karena terlihat lebih besar dari ukuran yang semestinya. Umar menjelaskan secara terbuka bahwa ia mendapatkan tambahan kain dari anaknya, dan ia mempersilakan untuk membuktikannya langsung. Sikap ini mencerminkan prinsip pertanggungjawaban yang tidak hanya administratif, tetapi juga moral dan publik.
Transparansi dalam Islam bukanlah retorika. Ia memiliki basis teologis yang kuat. Dalam Surah An-Nisa ayat 58, Allah memerintahkan agar amanah disampaikan kepada yang berhak dan keputusan publik dilaksanakan secara adil. Hal ini menegaskan bahwa pengelolaan urusan publik harus dilakukan secara terbuka dan akuntabel.
UU KIP hadir untuk menegaskan hak warga negara atas informasi. Pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa keterbukaan informasi merupakan sarana optimalisasi pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara. Setiap badan publik wajib membuka informasi, termasuk rencana dan realisasi anggaran, laporan kegiatan, hingga standar operasional pelayanan publik.
Namun dalam praktik, implementasi UU KIP masih dihadapkan pada kendala kultural dan struktural. Banyak lembaga pemerintah belum membangun sistem informasi yang terbuka dan mudah diakses masyarakat. Bahkan, tidak sedikit yang masih memandang informasi sebagai milik eksklusif, bukan sebagai hak publik.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.