Kondisi ini kontras dengan apa yang diterapkan di banyak masjid. Tidak ada undang-undang yang memaksa pengurus masjid untuk membuka laporan infak dan sedekah. Namun mereka melakukannya secara rutin, karena menyadari bahwa dana yang dikelola adalah amanah umat. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan sejatinya bersumber dari nilai dan integritas, bukan semata dorongan eksternal.
*Masjid sebagai Cermin*
Masjid, dalam hal ini, dapat menjadi cermin bagi lembaga-lembaga publik. Papan informasi sederhana di masjid—yang memuat pemasukan dan pengeluaran—lebih transparan daripada banyak situs resmi lembaga negara. Bahkan, di masjid, masyarakat bebas bertanya, memberikan masukan, atau mengusulkan kegiatan keagamaan. Semua berlangsung dalam ruang dialog yang terbuka.
Lalu mengapa praktik ini tidak bisa direplikasi di instansi pemerintah? Jawabannya mungkin bukan pada teknis, melainkan pada budaya dan kemauan. Ketika lembaga publik masih melihat keterbukaan sebagai beban, bukan bagian dari pelayanan, maka keterbukaan akan sulit tumbuh. Sebaliknya, jika keterbukaan dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab kepada rakyat, maka ia akan hadir secara alami.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah semestinya belajar dari masjid. Laporan anggaran desa/nagari, misalnya, bisa diumumkan melalui baliho atau papan informasi di kantor. Rencana pembangunan daerah bisa disosialisasikan secara terbuka dan partisipatif. Prinsipnya sama: apa yang berasal dari masyarakat, harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.