“Maek harus mendunia!” tegasnya lagi.
Supardi menilai, kebudayaan dan sejarah bukan tidak mungkin membuat suatu daerah maju. Bahkan Bali dan Yogyakarta telah membuktikannya.
“Bali itu bukan hanya menjual pantai dan laut, mereka menjual budaya, ada tari Kecak, ada ritual ngaben. Itulah mengapa wisatawan berduyun-duyun datang ke sana sejak lama,” katanya.
Yogyakarta juga serupa. Walaupun memiliki Borobudur dan banyak candi mereka juga mengadakan banyak festival yang menjadi magnet datangnya turis mancanegara.
Supardi mengatakan, mengekplorasi kebudayaan dan sejarah bukanlah hal yang buruk. Justru itu termasuk sebagai upaya melestarikannya. Bahkan tanpa kebudayaan maka daerah dan masyarakat akan kehilangan identitas. Dia menyebut, jika daerah lain tak malu mengekspos budaya mereka, maka Sumbar termasuk Payakumbuh juga tak boleh malu.
“Mengubah nasib daerah akan mengubah pula nasib masyarakatnya. Saat ini Payakumbuh mengalami banyak permasalahan. Mulai dari banyaknya kemiskinan ekstrim, tingginya angka pengangguran, LGBT, penyalahgunaan narkoba dan lem hingga permasalahan anak kekurangan gizi atau stunting,” urainya.
Stunting ini, disebut Supardi, sangat miris. Menurutnya, tidak ada dalam kamus orang Minang selama ini kelaparan. Rumah gadang dilengkapi lumbung, ini adalah konsep ketahanan pangan. Namun yang terjadi saat ini banyak rumah gadang yang diruntuhkan.
“Tidak seharusnya lagi para pemangku kebudayaan, Ninik mamak, Datuak Bundo kandung bahkan masyarakat untuk santai-santai saja melihat situasi di Payakumbuh saat ini. Angka kemiskinan ektrem dan pengangguran tinggi, ini bisa memacu kriminalitas,” ujarnya.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.