Dalam kesempatan yang sama, Edi Utama berbagi pandangannya tentang pentingnya memahami akar budaya. Ia menggambarkan kebudayaan seperti sungai, yang punya hulu dan muara.
“Kita sekarang terlalu sibuk mengurus muara memperkenalkan kebudayaan ke luar, tapi lupa menjaga hulunya. Padahal kalau air di muara keruh, masalahnya pasti di hulu,” ujar Edi.
Menurutnya, etnofotografi adalah cara untuk kembali menelusuri hulu kebudayaan dan spiritualitas Minangkabau. Ia menilai bahwa ketahanan budaya dan diplomasi budaya harus berjalan beriringan.
“Kita sering membuat sesuatu untuk orang lain, tapi lupa menjaga kebudayaan itu sendiri. Padahal esensi kebudayaan adalah hidup di dalam diri kita,” jelasnya.
Edi juga menyinggung tentang filosofi silat yang kini banyak disalahartikan.
“Silat itu bukan soal pertarungan, tapi jalan hidup. Benteng untuk mempertahankan kebudayaan,” tuturnya.
Ia berharap ke depan, Dinas Kebudayaan bisa mendorong strategi kebudayaan yang memperhatikan dua hal penting: menjaga hulu sebagai bentuk ketahanan budaya dan mengelola muara sebagai bentuk diplomasi budaya.
Ketua panitia, Muhammad Taufik, turut menyampaikan apresiasinya kepada Edi Utama yang dinilainya berhasil memotret “Islam yang hidup” di Minangkabau.
Dia menjelaskan bahwa pameran ini menggambarkan bagaimana Islam dan budaya Minangkabau berdialog, saling menghidupi, bukan saling meniadakan.
“Nilai-nilai Islam dan adat tidak saling membunuh, tetapi saling memperkaya. Hukum adat di Minangkabau itu untuk menghidupkan, bukan mematikan,” jelasnya.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.





