Yang lebih banyak terlibat adalah orang di luar sekolah, dari unsur lembaga swadaya masyarakat, relawan, bahkan kader partai. Mereka tidak paham kondisi lapangan. Mereka juga tidak terbiasa mengurus makanan untuk sekolah. Kondisi ini menyebabkan banyak terjadi masalah di lapangan.
“Jangan sampai ada kesan program MBG sekedar bagi-bagi uang untuk kader partai tertentu. Ini yang patut dicegah. Maka libatkan masyarakat sebanyak mungkin,” tegas Abraham.
Ketua Badan Sosialisasi MPR ini melihat, ketentuan satu dapur harus menyiapkan makanan untuk 3.000 siswa sangat menyulitkan. Kesulitan terjadi mulai dari proses memasak yang disiapkan untuk banyak orang hingga proses pengantaran ke sekolah-sekolah.
“Di NTT, jarak antara satu sekolah dengan sekolah lain mencapai puluhan kilometer. Belum kondisi jalan yang rusak yang sulit ditempuh kendaraan. Kalua masak dari jam 3 atau 4 pagi, nanti sampai di tempat tujuan baru sampe jam 12 atau 13. Gimana gak basi kalau seperti itu,” ujar Abraham.
Pemilik Universitas Citra Bangsa (UCB) Kupang ini meminta pemerintah agar program MBG tidak menjangkau seluruh provinsi tetapi fokus ke provinsi-provinsi miskin seperti NTT, Papua, Maluku. Dari dari 38 provinsi di tanah air, cukup ambil 15-20 provinsi sebagai sasaran awal.
“Bila perlu cukup lima provinsi saja sebagai pilot project awal. Setelah lima berhasil, baru ditingkatkan jumlahnya,” sebut dia.
Abraham juga meminta agar perlu memperbaik tata Kelola atau manajemen program. Ketentuan satu dapur harus menyediakan makanan untuk 3.000 siswa harus ditinjau kembali. Jumlahnya harus diperkecil lagi, misalnya satu dapur untuk 500 sampai 1.000 orang.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.





