โData ini hal penting. Karena cara pandang terhadap data dan angka yang tidak sama, mengakibatkan terjadinya perbedaan pandangan dalam menentukan sikap. Terutama bagi Pemerintah dalam mengambil kebijakan,โ katanya.
Data yang disajikan Masyarakat Pertembakauan menyatakan bahwa telah terjadi penurunan prevalensi merokok anak usia 18 tahun ke bawah, secara signifikan dari 9,65 persen pada tahun 2018 menjadi 3,69 persen pada tahun 2021.
Sementara pemerintah, melalui Kementerian Kesehatan, justru merilis data peningkatan jumlah penjualan rokok. Disebutkan jika penjualan rokok meningkat 7,2 persen dari 276,2 miliar batang di tahun 2020 menjadi 296,2 miliar batang di tahun 2021, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Pemerintah juga menggunakan data yang dilansir GATS, yang menyatakan bahwa 3 dari 4 orang mulai merokok pada usia kurang dari 20 tahun.
Kementerian Keuangan juga melansir data biaya perawatan untuk penyakit akibat merokok juga sangat besar yaitu Rp 596.6 Triliun di tahun 2017, dimana jumlah tersebut 4 kali lipat lebih tinggi dari pada penerimaan cukai hasil tembakau di tahun yang sama yang mencapai angka Rp 147.7 Triliun.
โSemua pihak harus akan berbicara dalam konteks yang apple to apple. Karena tidak mungkin data dari pemangku pertembakauan yang menyatakan jumlah anak perokok menurun, dijawab dengan jumlah penjualan rokok yang meningkat secara nasional. Tentu tidak apple to apple,โ ujarnya.
Yang ketiga yaitu paradoksal mengenai fakta bahwa impor tembakau memiliki kecenderungan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.