Oleh MAHDIYAL HASAN*
Sadisnya pembunuhan berantai yang dilakukan Satria Juanda alias Wanda menciptakan luka sosial yang dalam, baik secara psikologis maupun kultural. Terkait ini, fungsi hukum adat dan nilai lokal Minangkabau perlu ditegakkan, sebelum krisis ini melahirkan “Wanda-Wanda” baru di masa depan.
Tragedi ini adalah cerminan dari longgarnya ikatan sosial dan hilangnya fungsi kontrol adat dalam kehidupan masyarakat kontemporer.
Hukum bukan semata-mata soal perundang-undangan formal. Ia adalah kumpulan norma dan nilai yang tumbuh, hidup, dan dihormati masyarakat. Kasus Wanda ini adalah sinyal keras bahwa nilai itu tengah rapuh, bahkan nyaris mati.
Sumarak Minangkabau dahulu dibangun atas prinsip tungku tigo sajarangan,
yakni tungku tempat memasak yang ditopang oleh tiga unsur, yaitu ninik mamak (pemangku adat), alim ulama, dan cadiak pandai.
Ketiganya berfungsi sebagai penyangga moral, spiritual, dan intelektual masyarakat. Ketika salah satunya pincang atau tidak berfungsi optimal, masyarakat akan kehilangan arah.
Dalam konteks kasus Wanda, kita melihat bagaimana fungsi ‘tungku’ ini melemah. Tidak terlihat peran aktif ninik mamak dalam mendidik anak kemenakan. Ulama kehilangan suara dalam membentengi akhlak. Cadiak pandai tak hadir dalam membentuk kesadaran hukum.
Dia menegaskan bahwa kerapuhan sistem sosial dan minimnya peran adat bisa menjadi pintu masuk bagi penyimpangan—mulai dari narkoba, pencurian, hingga pembunuhan. Wanda hanyalah hasil akhir dari proses sosial yang gagal dikawal oleh lingkungan adat dan hukum kultural.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.