Hal yang sama berlaku di Amerika Serikat melalui Freedom of Information Act (FOIA), di mana informasi terkait pertahanan, keamanan, rahasia dagang, serta data pribadi dapat dikecualikan dengan syarat dilakukan uji dampak terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip dasar keterbukaan informasi adalah bersifat universal, sementara pengecualian terhadapnya harus dilakukan dengan sangat selektif dan proporsional.
Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung tinggi keterbukaan dan hak asasi manusia, harus menegakkan standar yang sama dalam pelaksanaan uji konsekuensi.
Perkembangan teknologi dan digitalisasi juga menghadirkan tantangan baru dalam pelaksanaan uji konsekuensi, khususnya terkait perlindungan data pribadi. Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, maka semakin kuat pula dasar hukum untuk melindungi informasi yang menyangkut privasi seseorang.
Dalam konteks ini, uji konsekuensi diperlukan untuk menilai sejauh mana pembukaan suatu informasi dapat melanggar hak individu atas kerahasiaan data pribadinya. Misalnya, informasi tentang kondisi kesehatan, catatan keuangan, atau preferensi digital seseorang harus dinilai secara seksama apakah benar-benar relevan untuk dibuka kepada publik.
Di sisi lain, jika informasi tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelidikan publik atau pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara, maka perlu dilakukan pengaburan (masking) pada bagian-bagian yang bersifat sensitif.
Dalam bidang ekonomi dan bisnis, uji konsekuensi juga berperan penting dalam melindungi kepentingan strategis perusahaan, terutama BUMN dan badan usaha yang mengelola aset negara. Informasi yang berkaitan dengan strategi bisnis, rencana ekspansi, atau akuisisi dapat menjadi alat persaingan yang tidak sehat jika bocor ke tangan pihak-pihak yang tidak berkepentingan.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.