Kesederhanaan Buya juga tampak ketika beliau mengantre. Buya menolak jika diminta untuk tidak mengantre ketika berobat di rumah sakit, mengurus paspor, dan saat berada di bank. Buya tidak mau diistimewakan dan menolak untuk mengantre berdasarkan nomor urut antrean. Padahal, sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah, kalau mau, Buya bisa mendapatkan perlakuan istimewa karena beliau orang yang dihormati. Namun, Buya memilih bersikap sederhana dan egaliter.
Sepanjang hidupnya, Buya selalu memposisikan diri dengan tegas, baik pemikiran maupun sikap, terhadap bahasan Islam, demokrasi, dan pluralisme. Konsekuensinya, tentu akan ada pihak yang melabelinya sebagai tokoh ”liberal”. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sikap dan pemikirannya itu ditujukan untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia agar tidak terpecah belah oleh masalah SARA.
8
Hal tersebut tergambar dalam tulisan Buya pada bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: “Agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama, jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri, rakus, dan buta peta. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan bertanggung jawab.”
Terhadap Sumatera Barat, Buya juga selalu menunjukkan kepedulian. Baginya, kampung halamannya ini bisa maju apabila para pemimpinnya merupakan orang-orang yang peduli dengan rakyat. Itulah sebabnya pada setiap pemilihan kepala daerah, Buya kerap mengambil peran, termasuk dengan mendorong Partai Amanat Nasional (PAN) untuk mencalonkan saya pada Pemilihan Wakil Wali Kota Padang pada Rabu (5/4/2023). Kebetulan saya juga kader Muhammadiyah.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.





