Artinya, Pak Azwar tidak hanya sekadar mendidik, mengasah, mengasuh dan memberikan tauladan kepada putra-putra Minangkabau yang bisa melesat ke kancah nasional. Lebih dari itu, Beliau juga memiliki empati yang begitu tinggi. Harapannya begitu besar bagi putra-putra terbaik Minang sebagai generasi penerus yang bisa menerima estafet perjuangan tokoh-tokoh sebelumnya.
Namun, di balik keseriusan beliau dalam memotivasi dan berempati itu, sesekali Pak Azwar dengan bergurau kadang juga melemparkan kritikannya atas “perangai” urang awak yang dia lihat suka berorganisasi, tapi banyak yang tidak mau berkorban waktu dan materi.
“Ketika menyusun nama-nama pengurus organisasi, mereka rajin datang dan menunggui sampai namanya masuk dalam daftar pengurus, tetapi ketika giliran mengumpulkan uang dan rapat-rapat, mereka ilang ciek-ciek,” sebut Pak Azwar dalam sebuah pertemuan di Hotel Indonesia (kini Kepinski), Jakarta, beberapa tahun yang lampau.
Pak Azwar mengaku cerita dan nasehatnya itu bak air mengalir saja. “Bapak tidak mau menutup-nutupi gaya dan kurenah urang awak seperti itu. Tapi ndak ada pula yang marah dengan Bapak,” jawab Pak Azwar kepada saya ketika beberapa kali melakukan wawancara bersama Mafri Amir rahimahullah di kediamannya di Jl. Gedung Hijau, Pondok Indah.
Wawancara itu kami lakukan guna mencoba mewujudkan keinginan beliau waktu itu untuk menerbitkan buku otobiografinya. Rencana penerbitan buku itu adalah inisiatif kami berdua dengan Uda Mafri. Dan kami sudah melakukan beberapa kali wawancara dengan beliau di kediamannya di Pondok Indah dan juga pernah diajak ke rumah beliau di Dangau Teduh di Padang untuk menyortir sejumlah foto-foto beliau sejak jadi Dirut di PT Semen Padang hingga menjadi Gubernur Sumatera Barat.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.