JAKARTA (SumbarFokus)
Rekomendasi TPP-HAM yang berkaitan dengan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu dinilai bias bagi pelaku dan korban.
Utamanya dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1965-1966, yaitu upaya kudeta terhadap kepemimpinan yang sah oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Penilaian tersebut dilontarkan pengamat ekonomi politik, Ichsanuddin Noorsy, dan akademisi FISIP UI, Dr Mulyadi, dalam Rapat Gabungan Pimpinan Alat Kelengkapan DPD RI, di Ruang Majapahit Gedung B DPD RI, Senin (10/4/2023).
Kegiatan ini membahas Inpres Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat.
Dalam paparannya, Dr Mulyadi menjelaskan, peristiwa kudeta yang menelan korban cukup banyak itu sangat kental dengan kekerasan politik. Sejak peristiwa itu pecah, meski TNI bergerak menyelamatkan negara ini dari upaya kudeta usai penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal berpengaruh, namun faktanya PKI tetap memposisikan diri sebagai korban dari peristiwa berdarah tersebut.
“Siapa korban dan siapa pelaku? Semua mengaku sebagai korban,” kata Dr Mulyadi.
Mulyadi memaparkan, dalam sejarahnya, gerakan komunisme di dunia, termasuk di Indonesia, selalu diwarnai dengan pertumpahan darah. Sebab, komunisme menghalalkan upaya kudeta negara demi upaya memuluskan bentuk pemerintahan ideal menurut teori komunisme.
“Tiada komunisme tanpa darah dan dendam. Dalam sistem komunisme, alat produksi akan diambil paksa oleh mereka,” ujar Mulyadi.
Di sisi lain, Mulyadi menilai penyelesaian persoalan kasus ini juga masih dalam sebatas dugaan saja.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.