3. Bahasa Bersifat Arbitrer
Bahasa bersifat arbitrer artinya ‘mana suka’, sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan itu tidak wajib, bisa berubah sewaktu-waktu, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang bunyi tersebut dapat “mengonsepi” makna tertentu.
Misalnya, lambang bunyi [kerbau] biasanya digunakan untuk konsep atau makna ‘sejenis binatang berkaki empat yang memiliki tanduk dan biasa digunakan untuk membajak sawah], ternyata tidak dapat dijelaskan secara konkrit. Andaikata, Anda hendak menyebutnya sebagai [kebo], [buffalo], atau [banteng] itu sah-sah saja. Hal tersebut dapat dilihat pada banyaknya lambang bunyi yang memiliki padanan kata untuk suatu makna atau konsep yang sama.
4. Bahasa Bersifat Konvensional
Dalam hal ini, setiap penutur suatu bahasa (manusia) harus mematuhi adanya hubungan antara lambang dengan konsep yang dilambangkannya. Apabila sang penutur suatu bahasa tidak memahami hubungan tersebut, maka besar kemungkinan komunikasi yang tengah dijalinnya akan terhambat.
Contohnya, untuk menyebut ‘kaca bening yang menampilkan bayangan’ Anda dapat menggunakan lambang bunyi [cermin]. Apabila terdapat seseorang yang seenaknya mengganti lambang bunyi menjadi [mincer], [nimrec], atau [recnim], tentu saja akan menghambat komunikasi dengan individu lain.
5. Bahasa Bersifat Produktif
Apakah Anda menyadari bahwa bahasa itu sangat produktif yang dapat berkembang dalam jumlah yang tidak terbatas. Yap, sejalan dengan sifat bahasa yang dinamis, satuan-satuan ujaran bahasa itu memiliki jumlah yang hampir tidak terbatas. Contohnya, dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia saja ternyata memuat kurang lebih sekitar 23.000 buah kata, yang mana kata-kata tersebut dapat pula dibuat menjadi banyak kalimat yang tidak terbatas jumlahnya.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.