PADANG (SumbarFokus)
Raden Adjeng Kartini merupakan salah satu tokoh Indonesia yang mampu membuat perubahan khususnya dalam memperjuangkan kebebasan dan menaikan martabat wanita Indonesia.
Coba perhatikan kalimat di atas. Jika jeli, Anda akan menyadari bahwa kutipan kalimat di atas sungguh tidak pantas. Bagaimana mungkin Kartini, pelopor emansipasi wanita, justru menaikan martabat wanita? Hal ini disebabkan oleh penggunaan kata ‘menaikan’ pada berita tersebut telah dibenturkan dengan arti kata ‘menaikkan’.
Cukup banyak ditemukan makna ‘menaikan’ disamakan dengan arti kata ‘manaikkan’ dalam berbagai tulisan. Padahal, ‘menaikan’ dan ‘menaikkan’ adalah dua kata yang mengandung makna berbeda.
Memang terdapat kesamaan makna pada kedua kata tersebut karena diberikan kombinasi afiks (konfiks) yang sama, yaitu me-kan. Dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Gramedia, 2009), Harimurti Kridalaksana menyatakan bahwa makna konfiks /me-kan/ di antaranya adalah ‘membuat jadi’. Namun, hal yang akan “dibuat jadi” pada kedua kata tersebut jelas tidak sama karena kategori kata dasar kedua kata itu saja sudah berbeda.
‘Menaikan’ kata dasarnya berupa nomina, yaitu tai (bentuk bakunya tahi) yang berarti ‘membuat jadi tai’, sedangkan ‘menaikkan’ kata dasarnya berupa verba, yaitu naik yang berarti ‘membuat jadi naik’. Jadi, berdasarkan berita di atas, masih mungkinkah Kartini menaikan martabat wanita?
Berdasarkan contoh di atas,
kata ‘menaikan’ pada kutipan berita itu seharusnya diganti dengan ‘menaikkan’ karena makna sesungguhnya dari berita tersebut adalah ‘hal yang dibuat jadi naik’. Begitulah kalau kita merujuk pada arti menaikkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring Edisi V: menaikkan berarti ‘menjadikan naik (meningkat, bertambah banyak, bertambah besar, dan sebagainya)’, sedangkan arti menaikan tidak ditemukan dalam KBBI. Namun, apabila merujuk pada makna konfiks me-kan—seperti yang sudah disebutkan di atas, kata menaikan berarti ‘membuat jadi tai’. Misalnya, dalam contoh kalimat, Warga Kampung Durian Runtuh menaikan kelakuan seorang maling di kampung mereka. Begitulah seharusnya
penggunaan menaikan yang tepat.
Kata ‘menaikan’ dan ‘menaikkan’ memang terdengar sama. Barangkali hal itulah yang menyebabkan pengguna bahasa sering membenturkan penggunaan kedua kata tersebut. Selain itu, mungkin juga pengguna bahasa tidak menyadari ada peristiwa morfofonemik yang terjadi pada kata menaikan sehingga tidak menyadari bahwa makna kedua kata itu sesungguhnya berbeda.
Dalam peristiwa morfofonemik, fonem /t/ pada kata menaikan mengalami peluluhan. Harimurti Kridalaksana dalam buku Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Gramedia: 2009) menyebutkan bahwa fonem /t/ akan mengalami peluluhan apabila morfem dasar yang diawali oleh fonem /t/ bergabung dengan afiks /me-/, /me-kan/, /me-i/, /pe-/, dan /pe-an/ kecuali pada morfem dasar yang berasal dari bahasa asing atau morfem dasar yang berprefiks ter-. Contohnya menata (/me-/ + /tata/), menidurkan (/me-kan/ + /tidur/), dan menelusuri (/me-i/ + /telusuri/).
Selain kata menaikan dan menaikkan, banyak juga kata-kata yang penggunaanya sering tumpang tindih karena kata tersebut terdengar sama, tapi sesungguhnya memiliki makna berbeda, misalnya dokter dan doktor; pimpinan dan pemimpin; serta autodidak dan autodidaktik.
Kesalahan penggunaan kata seperti ini tidak bisa disepelekan.
Kesalahan penggunaan kata bisa menyelewengkan pesan atau informasi pada sebuah tulisan. Oleh karena itu, pengguna bahasa semestinya lebih berhati-hati dalam menggunakan kata, khususnya kata-kata yang terdengar sama, tapi sesungguhnya memiliki makna berbeda.
Kesalahan penggunaan kata seperti ini akan mengubah makna tulisan sehingga pesan atau informasi tidak tersampaikan dengan semestinya.
Kesalahan-kesalahan seperti ini tentunya bisa memberikan edukasi yang salah bagi pembaca. Jadi, berhati-hatilah dalam menggunakaan bahasa agar tidak jadi acuan yang salah. (008/BBS)
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News SumbarFokus.com. Klik tanda bintang untuk mengikuti.